Selasa, 23 April 2013

Puisi Sosial Masyarakat III


Waktu yang Hilang
Karya: Suhendra ST


Demi masa
Allah t’lah bersumpah dengan waktu
Terlantunkan ayatnya menggetarkan kalbu
Membelah cakrawala

Demi masa
Apakah kita tidak merasa bersalah
mengkambinghitamkan dengan mengatakan tidak ada waktu?        
Menari-nari di atas kebesaran lalu
Meriakkan slogan-slogan nanti-nanti dan menanti
 
Jejak langkah yang berserak
debu beterbangan membuat sesak dada
menutupi mata
Tatapan menerawang menembus indahnya dinding cakrawala
Dibaluti selendang langit

Bagaimana mungkin engkau bisa berkata
Jika lidahmu keluh kesah
Bagaimana mungkin engkau bisa melihat
Jika mata dan hatimu tertutup rapat
sampai-sampai adzan tidak tedengar
malah menikmati godaan dunia maya

Begitu mudahnya kalian melumat waktu
dan dijadikan memori tuk di nostalgiakan
tanpa pernah mengutip tanda tanya
kemana waktu ku tadi? Kemana....?

Separuh anganmu tak tuntaskan harapan
Separuh mimpimu tak layak diterjemahkan
Kau hanya melayang, berputar-putar
Di ranah hayal yang tak bertuan

Jangan kau berharap jadi rembulan
jika tidak bisa menyinari
Jangan jadi batu batu karang
Jika habis dikikis gelombang
Tangan meninju angin lalu
Sebenarnya kemanakah yang kau tuju?

bagaimana kau bisa tak terluka jika aku terlalu perih
bagaimana kau bisa berjalan jika aku menjadi kaku dengan anganmu

Teriakku memanggil gemuruh
menyamai bunyinya yang begitu dasyat
gelegarnya menantang keangkuhan
kembali ku berteriak
kemari... kemari... dekaplah bayanganku
ambil titik nadi kegalauanku
kalian telanlah tanpa sisa...
namun....suaraku kembali ketenggorokan
menggerogoti hinggah perih

kawan....
adakah sisa-sisa doa yang bisa kau panjatkan dan
kau titipkan seberkas cahaya di celah jari-jari mu?

Merobohkan kesombongan yang berkamar dalam jiwamu,
menempel melekat tak terlacak oleh rasa,            
menampar seberkas keangkuhan
yang kau lekatkan bersama ketidakpedulian

karena kesalahan memuncak
kau lempar dusta dan sejuta alasan
pada kerutan waktu yang berlalu
pada titik-titik api yang memberhangus
sumber-sumber ilmu yang terhapus

apalagi yang bisa kau renggut
dan kau jadikan sandaran tuk mengalungkan harapan?

Dalam hati masih ada kegundahan
Perlahan membakar angan
Jika akhirnya kau hanya melukis di air
Mendulang emas di arang-arang yang membara
Tuk kau suguhkan di celah-celah peluh bapak
yang mengkayuh becak usangnya
Atau di celah-celah jemari ibu yang membelai rambut dan keningmu
disaat buaian keheningan tidur malammu?